Social

Pengertian Pengangguran Dan Jenis/Macam Pengangguran : Friksional,Struktural, Musiman & Siklikal


A. Arti Definisi Dan Pengertian Pengangguran
Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
B. Rumus Menghitung Tingkat Pengangguran
Untuk mengukur tingkat pengangguran pada suatu wilayah bisa didapat dar prosentase membagi jumlah pengangguran dengan jumlah angkaran kerja.
Tingkat Pengangguran = Jml Yang Nganggur / Jml Angkatan Kerja x 100%
C. Jenis & Macam Pengangguran
1. Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan.
2. Pengangguran Struktural / Structural Unemployment
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.
4. Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
Tambahan :
Pengangguran juga dapat dibedakan atas pengangguran sukarela (voluntary unemployment) dan dukalara (involuntary unemployment). Pengangguran suka rela adalah pengangguran yang menganggur untuk sementara waktu karna ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Sedangkan pengangguran duka lara adalah pengengguran yang menganggur karena sudah berusaha mencari pekerjaan namun belum berhasil mendapatkan kerja.

sumber :





Mengurangi Pengangguran Terdidik

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia kembali memunculkan satu problem yang signifikan, yaitu besarnya angka pengangguran terdidik. Yang dimaksud dengan pengangguran terdidik adalah mereka yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik.
Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan pula, jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.

Pendikan dan Lapangan Kerja
Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja, sehingga lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja.
Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.
Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.

Pengangguran terdidik harus dikurangi dari dua sisi,yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Prosesnya selama ini adalah product oriented, yaitu dunia pendidikan lebih fokus pada upaya menghasilkan lulusan yang berkualitas. Namun kualitas dan karakteristik seperti apa yang dibutuhkan oleh pasar kerja? Oleh karena itu, labour market oriented, saat ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.

Kewirausahaan
Mengurangi pengangguran pada umumnya, dan pengangguran terdidik pada khususnya, mengingatkan kita pada harapan akan tumbuhnya enterpreneurship atau kewirausahaan. Namun, seperti tercatat dalam Sensus Ketenagakerjaan Nasional 2007, hanya 5 persen dari jumlah angkatan kerja kita yang berminat pada kewirausahaan.
Selebihnya, mayoritas berlomba-lomba menjadi karyawan (bekerja pada pihak lain untuk mendapatkan upah atau gaji). Padahal ada harapan kewirausahaan sebagai langkah untuk pemberdayaan angkatan kerja menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri dan orang lain.
Kewirausahaan juga diragukan dapat menjadi solusi apabila tidak ada dukungan dari sistem ekonomi pasar yang lebih besar. Usaha-usaha mandiri apalagi yang kecil, bisa mati apabila tidak ada industri besar dan investor besar yang menopang. Sebetulnya, di sini peran dan tantangan Pemerintah signifikan, yaitu menciptakan iklim yang kondusif untuk menarik investor sehingga kewirausahaan dalam negeri dapat hidup.

Pendidikan Profesional
Sejalan dengan perubahan kebijakan pendidikan berdasarkan pasar kerja (labour market based) seperti dijelaskan di atas, pendidikan profesional dapat menjadi langkah yang tepat. Bidang-bidang usaha membutuhkan tenaga-tenaga profesional. Perbankan membutuhkan tenaga profesional perbankan yang handal, telekomunikasi membutuhkan tenaga profesional yang handal, begitu pula bidang lainnya.
Pelaku usaha tahu lebih tepat bagaimana karakter dan kualifikasi yang dibutuhkan. Pelaku usaha ini, apalagi korporat besar, dapat menyelenggarakan lembaga pendidikan profesional sesuai bidang dan kebutuhan masing-masing. Menyebut beberapa contoh, seperti Institut Bank Indonesia, Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, adalah beberapa contohnya.
Bila korporat-korporat besar di berbagai bidang-bidang kerja dapat menyelenggarakan lebih banyak program pendidikan seperti itu, tentunya akan ada penyerapan angkatan belajar ke lembaga pendidikan dengan output berdasarkan kebutuhan pasar kerja. Pemerintah dapat mendukung dengan memberikan insentif-insentif yang relevan. Perusahaan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) dan para filantrofi lainnya dapat merespons pula dengan program bantuan dan beasiswa, yang pastinya juga dibutuhkan.
Dengan demikian, diharapkan pengangguran terdidik dapat dikurangi, dan yang ada adalah angkatan belajar yang terserap ke lembaga pendidikan profesional yang tahu persis kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja. Kepastian SDM profesional dapat menarik kepercayaan investor untuk menanamkan modal, yang artinya adalah membuka lapangan pekerjaan pula, sebagai salah satu mata rantai solusi pengurangan pengangguran.



Konflik di Maluku

            Konflik yang terjadi di Ambon dan wilayah Maluku lainnya sebenarnya adalah bukan karena masalah agama, tetapi timbul karena kepentingan, khususnya yang berkaitan dengan masalah adat “Pela Gandong” yang selanjutnya mengarah menjadi bentrok antar agama. Bentrok antar agama yaitu Muslim dan Kristen di Ambon dan di wilayah lain di Kepulauan Maluku yang pecah pada tanggal 19 Januari 1999 sebenarnya tidak ada dan sudah berakhir. Namun dampaknya telah menyebabkan ribuan orang meninggal dan ribuan lainnya terluka atau menjadi pengungsi belum terhitung pula kerugian harta benda. Kota Ambon dan Maluku Tengah sampai dengan saat ini dapat dikatakan masih semu, karena bentrok atau konflik sewaktu-waktu masih akan dapat meledak kembali.
Terdapat kecenderungan bahwa primordial dan keterikatan pada tradisi, terutama berdasarkan pada agama masih sangat kuat diantara komunitas Ambon. Namun demikian bentrokan yang terjadi di Ambon atau Maluku sekarang bukanlah perang antara agama. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejarah Ambon, seperti telah dijelaskan di atas, cukup “bersih” dari sejarah konflik antar agama diantara masyarakat Ambon. Sebaliknya, sejarah menunjukkan kepada kita bahwa negara (baik pemerintah kolonial maupun pemerintah Indonesia) menggunakan komunitas Ambon memenuhi kepentingan kekuasaan mereka.
            Sejarah Konflik di Maluku Utara dan Halmahera Utara. Melihat kembali dari sejarahnya, Maluku Utara terdiri dari tiga kerajaan yaitu Ternate, Tidore dan Bacan, dimana sebagian besar masyarakatnya terbagi dalam dua komunitas Kristen dan Islam. Namun demikian antara kedua komunitas sejak berabad-abad lampau tidak pernah timbul konflik atau pertikaian. Kedua komunitas hidup berdampingan secara damai. Kedamaian ini bisa terjadi diantara masyarakat Maluku karena terjalin sistem komunikasi yang baik dalam bentuk adat istiadat. Dengan adat istiadat ini, bibit-bibit ketegangan dan konflik diantara komunitas masyarakat bisa secepatnya dicairkan.
            Pada abad XVI, masuklah pedagang Portugis yang membawa masuk agama Kristen di Maluku Tengah, Selatan dan Tenggara. Berkat misionaris Kristen, mereka berhasil mendidik sejumlah orang dari komunitas Kristen menjadi kaum terdidik, pemikir dan intelektual. Bisa diingat misalnya dari daerah ini lahir sejumlah tokoh pemimpin dan pendidik bangsa seperti Mr. Latuharhary, Putuhena (Menteri Pekerjaan Umum pertama) dan Dr. Leimena. Berkat pendidikan inilah, komunitas Kristen banyak mengisi jabatan publik di pemerintahan (birokrasi).
            Pada abad ke-17, atas anjuran Sultan Ternate masyarakat Tobelo meninggalkan Telaga Lina di pedalaman Halmahera Utara untuk bermukim di kawasan pesisir. Sebagian besar mereka menolak menganut Islam dan puas dengan agama nenek moyang (animisme). Baru pada abad ke-19 dan ke-20, masyarakat Tobelo dan Kao memeluk agama Protestan yang dibawa Utrechtsche Zendings Vereeniging (UNZ) yang didirikan Belanda tahun 1859. Kemudian masyarakat Tobelo berkembang dan Tobelo merupakan kecamatan paling maju di Maluku Utara dengan kopra sebagai komoditas andalan. Dengan masuknya masyarakat Ambon yang beragama Kristen kedaerah tersebut dalam jumlah besar, ikut mengubah wajah kultur dan politis masyarakat lapisan atas Tobelo. Mereka nampaknya ingin melepaskan diri dari pusat pemerintahan Maluku Utara yang didominasi oleh suku Makian, Tidore, Ternate dan suku Muslim lainnya.
            Konflik pertama Islam-Kristen terjadi pada pertengahan 1536, ketika desa komunitas Kristen Mamuya (pada waktu terjadi konflik pada tahun yang lalu juga menjadi sasaran serangan pasukan putih pada 25 Mei 2000) dihancurkan oleh pasukan Ternate, Tidore dan sekutu Pangeran Catabruno dari Jailolo. Pembumihangusan Mamuya merupakan ekses perebutan hegemoni antara elite Ternate, Tidore, Portugis dan Jailolo.
Ketika hubungan Ternate-Portugis-Tidore-Jailolo memanas, komunitas animisme Mamuya memutuskan masuk ke dalam Corpus Christianum sebagai umat Kristen. Dengan demikian, komunitas Mamuya tercatat sebagai umat Kristen pertama di tanah air, kalau bukan di Asia. Perpindahan agama komunitas desa Mamuya ini tentunya menimbulkan peringatan bagi Bohiat dan Kesultanan Tidore yang bersekutu dengan Spanyol melawan Kesultanan Ternate-Portugal. Maklum, perpindahan agama pada waktu itu dipandang sebagai perpindahan kebangsaan sekaligus loyalitas politik. Maka, tanpa ampun pasukan gabungan Bohiat, Catabruno dan Tidore membakar habis desa Mamuya. Pemimpinnya yang telah mendapat gelar bangsawan Portugis Don Joao itu ditangkap dan diadili di Tidore. Kerusuhan kemudian merambat ke seluruh kawasan.
            Setelah berakhirnya PRRI/Permesta, pemerintah pusat di Jawa mencoba memerintah Maluku dengan sasaran mengubah sistem komunikasi (adat istiadat) yang sebetulnya telah merekatkan persaudaraan antar kelompok (masyarakat) di Maluku. Kendati demikian dominasi masyarakat Kristen di unsur-unsur pemimpin formal di pemerintahan masih diakui.
Republik Maluku Selatan (RMS). Dengan menyerahnya Jepang kepada pihak Sekutu pada tahun 1945, Soekarno dan Muhammad Hatta mem-proklamasikan terbentuknya negara Indonesia yang merdeka. Pada tanggal 29 Desember 1949, NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Maluku merupakan salah satu anggota dari Republik Indonesia Timur. Indonesia bagian Timur bersama dengan Republik Indonesia adalah dua komponen dari NKRI. Dalam kaitannya dengan Indonesia Timur, Ide Agung Gede Agung mengatakan : “75% dari wilayah Indonesia Timur terdiri dari wilayah-wilayah otonomi, di bawah kekuasaan raja (swapraja) dengan 115 pemerintah otonom. Sisanya adalah wilayah-wilayah yang diperintah secara langsung (rechstreeks bestuurd gebied), termasuk wilayah-wilayah Minahasa, Maluku Selatan, Gorontalo, Makassar dan Lombok, yang merupakan warisan dari pemerintah Hindia Belanda sebelumnya.
            Pengalihan kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia menyebabkan perpecahan dalam NKRI pada tahun 1950. Banyak komunitas Kristen Ambon, sebagian besar adalah tentara yang mendukung Negara Indonesia Timur, prihatin dengan perubahan ini. Mereka menghadapi dilema berkaitan dengan masa depan mereka, apakah akan termasuk dalam wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia. Akhirnya mereka memilih untuk tidak menjadi bagian dari Indonesia, karena mayoritas dari orang-orang Jawa beragama Islam. Pada bulan April 1950, sebagai Presiden dari Republik Maluku Selatan (RMS), Dr. Soumokil memproklamirkan kemerdekaan Maluku Selatan. Banyak raja, termasuk raja yang beragama Islam mendukung RMS. Chauvel menulis bahwa : dalam pemikiran banyak raja, kemerdekaan Indonesia diasosiasikan dengan kelompok-kelompok oposisi di negeri sendiri. Di bawah RMS, kelompok-kelompok oposisi ditekan dan raja diberi penghargaan atas dukungan mereka ketika parlemen didirikan. Semua raja menjadi anggota ex-officio. Akan tetapi, pemberontakan RMS gagal. Pendukung RMS banyak yang mengungsi ke Belanda pada tahun 1950-an, dan sampai dengan saat ini, RMS masih aktif secara politik di Belanda.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Maluku.
            Berdasarkan teori, fakta dan pengamatan terhadap konflik dapat terjadi oleh karena beberapa faktor yang bepengaruh. Konflik sangat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pertentangan dapat diredam bila dalam tatanan kehidupan bermasyarakat menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi dan toleransi. Tetapi bila ketiga tonggak ini rapuh, maka kondisi tatanan kehidupan masyarakat dapat dipastikan rawan terjadi konflik.
Kondisi Internal merupakan kondisi dalam tatanan kehidupan masyarakat itu sendiri yang mendukung terwujudnya kehidupan yang manusiawi dengan menerapkan demokrasi, transparansi dan toleransi secara murni. Jika ketiga tonggak (demokrasi, transparansi dan toleransi) dapat diciptakan maka tercipta sebuah tatanan kehidupan masyarakat aman, tenteram dan sejahtera, jika tidak maka akan terjadi sebaliknya.
            Kondisi eksternal merupakan kondisi tatanan kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dari masyarakat itu sendiri seperti kebijakan, penegak hukum, simpatisan, pers (media cetak dan elektronik).








Republik Maluku Selatan

          Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.

Sejarah
          Pada 25 April 1950 RMS diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang diantaranya adalah Chr. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang.Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
          Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS tidak menutup kemungkinan Maluku akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan utama adalah meraih kemerdekaan penuh [2].
Pemimpin
          Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama, pemimpin kedua Frans Tutuhatunewa turun pada tanggal 25 april 2009. Kini John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
Dukungan
          Mayoritas penduduk Maluku pada saat itu beragama Islam dan Kristen secara berimbang, Namun dengan adanya budaya "Pela Gandong", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu. Demikian saat itu RMS.[rujukan?] berbeda dengan sekarang, sudah banyak pendatang-pendatang baru dari daerah Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, Jawa Madura maupun daerah lainnya di Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil lah masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram dan ancaman bagi perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan setelah perisitiwa kerusuhan Ambon.
RMS di Belanda
          Oleh karena kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April 1950 di kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka Pemerintah RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah RI, sehingga semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau Jawa.Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka para pimpinan teras RMS tersebut, ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda, kepindahan para pimpinan RMS ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada saat itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka sebagian besar rakyat di Maluku yang beragama kristen, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah ke Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri Belanda.
          Pindahnya sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno - Hatta, diissukan sebagai "PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS", lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi para Menteri RMS dan para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh pengadilan militer RI, dengan hukuman berat bahkan dieksekusi Mati.Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
          Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis RMS di Belanda. Ada yang mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah          Belanda menarik dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di lansir Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen - Wassenaar.Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan RMS, seperti kelompok Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan yang tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah dan di saat yang sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api.Sejak tahun 80an hingga sekarang aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.




          Dalam kehidupan sosial dikenal hubungan harmoni dan disharmoni, istilah yang terakhir dikenal dengan sebutan konflik. Konflik bisa bersifat laten (tersembunyi) dan manifest (nampak), bila sudah mengejawantah kerapkali menimbulkan korban. Konflik dalam presfektif sosiologi menegaskan bahwa ketegangan sosial yang berujung pada konflik dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu konflik yang bersifat fungsional dan konflik yang bersifat disfungsional bagi hubungan-hubungan dan struktur sosial.
          Dalam kasus tersebut penelitian ini mengambil judul konflikantara umat Islam dengan non pri di Pekalongan tahun 1995, konflik yang bersifat disfungsional, karena sudah menyerang pada nilai-nilai inti substansi perbedaan sosial yang secara alamiah potensial menjadi pemicu konflik.Konflik tersebut dipicu adanya penyobekan kitab suci al-Qur'an yang dilakukan oleh seseorang non pribumi. Sehingga mengakibatkan cepat berkembangnya isu tersebut, dan banyak bumbu-bumbunya. Perilaku penyimpangan warga non pribumi menjadi bahan gunjingan warga kota santri, pada mulanya warga ingin melihat langsung warga non pribumi tersebut, tapi kemudian setelah masa berkumpul berubah menjadi aksi pengrusakan dan kerusuhan.
          Aksi pengrusakan dan kerusuhan itu terjadi di Pekalongan pada tanggal 24 November 1995, tepatnya di sepanjang jalan Hayam Wuruk dan telah merambat ke daerah-daerah sekitarnya. Konflik tersebut terjadi sebagai aksi protes umat Islam terhadap tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh seseorang warga non pribumi yang telah menyobek kitab suci Umat Islam. Aksi pengrusakan dan kerusuhan itu terjadi tidak hanya di lokasi kejadian penyobekan al-Qur'an, melainkan telah merambat ketempat-tempat lain. Banyak toko dan rumah milik pedagang non pribumi di sepanjang jalan Hayam Wuruk dan sekitarnya hancur berantakan, akibat amukan massa. Aksi tersebut menjalar menjadi aksi penjarahan, karena banyak warga awam yang ikut di dalamnya.
Bertolak daripokok maslah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengungkapkan kenyataan terjadinya konflik, dampak dan faktor-faktor yang mendorongnya pada tingkat berikutnya menggambarkan perwujudan konflik sebagaimana dicerminkan dalam kasus di Pekalongan ini. Pada landasan teori, pendekatan penulisan yang digunakan yaitu pendekatan sosial yang menekankan pada aspek konflik sosial dalam masyarakat Pekalongan. Jenis penelitian ini penulisan sejarah lokal, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Dalam mencari data tentang koflik antara umat muslim dengan warga non pribumi di Pekalongan tahun 1995 diperoleh dengan beberapa cara diantaranya, studi perpustakaan, dokumen-dokumen, arsip, observasi dan wawancara dengan menentukan subyek terlebih dahulu.
Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”.
          Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot” oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa. Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun terpendam.
 


0 komentar:

Posting Komentar