Masalah ketenagakerjaan di Indonesia kembali memunculkan
satu problem yang signifikan, yaitu besarnya angka pengangguran terdidik.
Yang dimaksud dengan pengangguran terdidik adalah mereka yang mempunyai
kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki
pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang
pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan
Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah
pengangguran terdidik.
Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup,
namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan pula, jumlah
pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur
terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen,
pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.
Pendikan dan Lapangan Kerja
Penyebab utama terjadinya pengangguran
terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan
perkembangan lapangan kerja, sehingga lulusan institusi pendidikan tidak
terserap ke lapangan kerja.
Ada
faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran
terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang
diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan
kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.
Semakin besarnya angka pengangguran terdidik
secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah
sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3)
menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Pengangguran terdidik harus dikurangi dari dua sisi,yaitu pendidikan dan
ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan
harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja.
Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja
menjadi mutlak.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada
pasar kerja (labour market based). Prosesnya selama ini adalah product
oriented, yaitu dunia pendidikan lebih fokus pada upaya menghasilkan
lulusan yang berkualitas. Namun kualitas dan karakteristik seperti apa yang
dibutuhkan oleh pasar kerja? Oleh karena itu, labour market oriented, saat
ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja
berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Konsep link and match antara dunia pendidikan
dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan
market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan
kerja didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada,
dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.
Kewirausahaan
Mengurangi pengangguran pada umumnya, dan
pengangguran terdidik pada khususnya, mengingatkan kita pada harapan akan
tumbuhnya enterpreneurship atau kewirausahaan. Namun, seperti tercatat
dalam Sensus Ketenagakerjaan Nasional 2007, hanya 5 persen dari jumlah
angkatan kerja kita yang berminat pada kewirausahaan.
Selebihnya, mayoritas berlomba-lomba menjadi
karyawan (bekerja pada pihak lain untuk mendapatkan upah atau gaji).
Padahal ada harapan kewirausahaan sebagai langkah untuk pemberdayaan
angkatan kerja menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri dan orang lain.
Kewirausahaan juga diragukan dapat menjadi
solusi apabila tidak ada dukungan dari sistem ekonomi pasar yang lebih
besar. Usaha-usaha mandiri apalagi yang kecil, bisa mati apabila tidak ada
industri besar dan investor besar yang menopang. Sebetulnya, di sini peran
dan tantangan Pemerintah signifikan, yaitu menciptakan iklim yang kondusif
untuk menarik investor sehingga kewirausahaan dalam negeri dapat hidup.
Pendidikan Profesional
Sejalan dengan perubahan kebijakan pendidikan
berdasarkan pasar kerja (labour market based) seperti dijelaskan di atas,
pendidikan profesional dapat menjadi langkah yang tepat. Bidang-bidang
usaha membutuhkan tenaga-tenaga profesional. Perbankan membutuhkan tenaga
profesional perbankan yang handal, telekomunikasi membutuhkan tenaga
profesional yang handal, begitu pula bidang lainnya.
Pelaku usaha tahu lebih tepat bagaimana
karakter dan kualifikasi yang dibutuhkan. Pelaku usaha ini, apalagi
korporat besar, dapat menyelenggarakan lembaga pendidikan profesional
sesuai bidang dan kebutuhan masing-masing. Menyebut beberapa contoh,
seperti Institut Bank Indonesia,
Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, adalah beberapa contohnya.
Bila korporat-korporat besar di berbagai
bidang-bidang kerja dapat menyelenggarakan lebih banyak program pendidikan
seperti itu, tentunya akan ada penyerapan angkatan belajar ke lembaga
pendidikan dengan output berdasarkan kebutuhan pasar kerja. Pemerintah
dapat mendukung dengan memberikan insentif-insentif yang relevan.
Perusahaan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) dan para
filantrofi lainnya dapat merespons pula dengan program bantuan dan
beasiswa, yang pastinya juga dibutuhkan.
Dengan demikian, diharapkan pengangguran
terdidik dapat dikurangi, dan yang ada adalah angkatan belajar yang
terserap ke lembaga pendidikan profesional yang tahu persis kebutuhan dan
ketersediaan lapangan kerja. Kepastian SDM profesional dapat menarik
kepercayaan investor untuk menanamkan modal, yang artinya adalah membuka
lapangan pekerjaan pula, sebagai salah satu mata rantai solusi pengurangan
pengangguran.
Konflik yang
terjadi di Ambon dan wilayah Maluku lainnya sebenarnya adalah bukan karena
masalah agama, tetapi timbul karena kepentingan, khususnya yang berkaitan dengan
masalah adat “Pela Gandong” yang selanjutnya mengarah menjadi bentrok antar
agama. Bentrok antar agama yaitu Muslim dan Kristen di Ambon dan di wilayah
lain di Kepulauan Maluku yang pecah pada tanggal 19 Januari 1999 sebenarnya
tidak ada dan sudah berakhir. Namun dampaknya telah menyebabkan ribuan orang
meninggal dan ribuan lainnya terluka atau menjadi pengungsi belum terhitung
pula kerugian harta benda. Kota Ambon dan Maluku Tengah sampai dengan saat ini
dapat dikatakan masih semu, karena bentrok atau konflik sewaktu-waktu masih
akan dapat meledak kembali.
Terdapat kecenderungan bahwa primordial dan keterikatan pada tradisi, terutama
berdasarkan pada agama masih sangat kuat diantara komunitas Ambon. Namun
demikian bentrokan yang terjadi di Ambon atau Maluku sekarang bukanlah perang
antara agama. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejarah Ambon, seperti telah
dijelaskan di atas, cukup “bersih” dari sejarah konflik antar agama diantara
masyarakat Ambon. Sebaliknya, sejarah menunjukkan kepada kita bahwa negara
(baik pemerintah kolonial maupun pemerintah Indonesia) menggunakan komunitas
Ambon memenuhi kepentingan kekuasaan mereka.
Sejarah
Konflik di Maluku Utara dan Halmahera Utara. Melihat kembali dari sejarahnya,
Maluku Utara terdiri dari tiga kerajaan yaitu Ternate, Tidore dan Bacan, dimana
sebagian besar masyarakatnya terbagi dalam dua komunitas Kristen dan Islam.
Namun demikian antara kedua komunitas sejak berabad-abad lampau tidak pernah
timbul konflik atau pertikaian. Kedua komunitas hidup berdampingan secara
damai. Kedamaian ini bisa terjadi diantara masyarakat Maluku karena terjalin
sistem komunikasi yang baik dalam bentuk adat istiadat. Dengan adat istiadat
ini, bibit-bibit ketegangan dan konflik diantara komunitas masyarakat bisa
secepatnya dicairkan.
Pada abad
XVI, masuklah pedagang Portugis yang membawa masuk agama Kristen di Maluku
Tengah, Selatan dan Tenggara. Berkat misionaris Kristen, mereka berhasil
mendidik sejumlah orang dari komunitas Kristen menjadi kaum terdidik, pemikir
dan intelektual. Bisa diingat misalnya dari daerah ini lahir sejumlah tokoh
pemimpin dan pendidik bangsa seperti Mr. Latuharhary, Putuhena (Menteri
Pekerjaan Umum pertama) dan Dr. Leimena. Berkat pendidikan inilah, komunitas
Kristen banyak mengisi jabatan publik di pemerintahan (birokrasi).
Pada abad
ke-17, atas anjuran Sultan Ternate masyarakat Tobelo meninggalkan Telaga Lina
di pedalaman Halmahera Utara untuk bermukim di kawasan pesisir. Sebagian besar
mereka menolak menganut Islam dan puas dengan agama nenek moyang (animisme).
Baru pada abad ke-19 dan ke-20, masyarakat Tobelo dan Kao memeluk agama
Protestan yang dibawa Utrechtsche Zendings Vereeniging (UNZ) yang didirikan
Belanda tahun 1859. Kemudian masyarakat Tobelo berkembang dan Tobelo merupakan
kecamatan paling maju di Maluku Utara dengan kopra sebagai komoditas andalan.
Dengan masuknya masyarakat Ambon yang beragama Kristen kedaerah tersebut dalam
jumlah besar, ikut mengubah wajah kultur dan politis masyarakat lapisan atas
Tobelo. Mereka nampaknya ingin melepaskan diri dari pusat pemerintahan Maluku
Utara yang didominasi oleh suku Makian, Tidore, Ternate dan suku Muslim
lainnya.
Konflik
pertama Islam-Kristen terjadi pada pertengahan 1536, ketika desa komunitas
Kristen Mamuya (pada waktu terjadi konflik pada tahun yang lalu juga menjadi
sasaran serangan pasukan putih pada 25 Mei 2000) dihancurkan oleh pasukan
Ternate, Tidore dan sekutu Pangeran Catabruno dari Jailolo. Pembumihangusan
Mamuya merupakan ekses perebutan hegemoni antara elite Ternate, Tidore,
Portugis dan Jailolo.
Ketika hubungan Ternate-Portugis-Tidore-Jailolo memanas, komunitas animisme
Mamuya memutuskan masuk ke dalam Corpus Christianum sebagai umat Kristen.
Dengan demikian, komunitas Mamuya tercatat sebagai umat Kristen pertama di
tanah air, kalau bukan di Asia. Perpindahan agama komunitas desa Mamuya ini
tentunya menimbulkan peringatan bagi Bohiat dan Kesultanan Tidore yang
bersekutu dengan Spanyol melawan Kesultanan Ternate-Portugal. Maklum,
perpindahan agama pada waktu itu dipandang sebagai perpindahan kebangsaan
sekaligus loyalitas politik. Maka, tanpa ampun pasukan gabungan Bohiat,
Catabruno dan Tidore membakar habis desa Mamuya. Pemimpinnya yang telah
mendapat gelar bangsawan Portugis Don Joao itu ditangkap dan diadili di Tidore.
Kerusuhan kemudian merambat ke seluruh kawasan.
Setelah
berakhirnya PRRI/Permesta, pemerintah pusat di Jawa mencoba memerintah Maluku
dengan sasaran mengubah sistem komunikasi (adat istiadat) yang sebetulnya telah
merekatkan persaudaraan antar kelompok (masyarakat) di Maluku. Kendati demikian
dominasi masyarakat Kristen di unsur-unsur pemimpin formal di pemerintahan
masih diakui.
Republik Maluku Selatan (RMS). Dengan menyerahnya Jepang kepada pihak Sekutu
pada tahun 1945, Soekarno dan Muhammad Hatta mem-proklamasikan terbentuknya
negara Indonesia yang merdeka. Pada tanggal 29 Desember 1949, NKRI berubah
menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Maluku merupakan salah satu anggota
dari Republik Indonesia Timur. Indonesia bagian Timur bersama dengan Republik
Indonesia adalah dua komponen dari NKRI. Dalam kaitannya dengan Indonesia
Timur, Ide Agung Gede Agung mengatakan : “75% dari wilayah Indonesia Timur
terdiri dari wilayah-wilayah otonomi, di bawah kekuasaan raja (swapraja) dengan
115 pemerintah otonom. Sisanya adalah wilayah-wilayah yang diperintah secara
langsung (rechstreeks bestuurd gebied), termasuk wilayah-wilayah Minahasa,
Maluku Selatan, Gorontalo, Makassar dan Lombok, yang merupakan warisan dari
pemerintah Hindia Belanda sebelumnya.
Pengalihan
kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia menyebabkan
perpecahan dalam NKRI pada tahun 1950. Banyak komunitas Kristen Ambon, sebagian
besar adalah tentara yang mendukung Negara Indonesia Timur, prihatin dengan
perubahan ini. Mereka menghadapi dilema berkaitan dengan masa depan mereka,
apakah akan termasuk dalam wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia.
Akhirnya mereka memilih untuk tidak menjadi bagian dari Indonesia, karena
mayoritas dari orang-orang Jawa beragama Islam. Pada bulan April 1950, sebagai
Presiden dari Republik Maluku Selatan (RMS), Dr. Soumokil memproklamirkan
kemerdekaan Maluku Selatan. Banyak raja, termasuk raja yang beragama Islam
mendukung RMS. Chauvel menulis bahwa : dalam pemikiran banyak raja, kemerdekaan
Indonesia diasosiasikan dengan kelompok-kelompok oposisi di negeri sendiri. Di
bawah RMS, kelompok-kelompok oposisi ditekan dan raja diberi penghargaan atas
dukungan mereka ketika parlemen didirikan. Semua raja menjadi anggota
ex-officio. Akan tetapi, pemberontakan RMS gagal. Pendukung RMS banyak yang
mengungsi ke Belanda pada tahun 1950-an, dan sampai dengan saat ini, RMS masih
aktif secara politik di Belanda.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Maluku.
Berdasarkan
teori, fakta dan pengamatan terhadap konflik dapat terjadi oleh karena beberapa
faktor yang bepengaruh. Konflik sangat dipengaruhi oleh kondisi internal dan
eksternal dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pertentangan dapat diredam bila dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat menerapkan prinsip-prinsip demokrasi,
transparansi dan toleransi. Tetapi bila ketiga tonggak ini rapuh, maka kondisi
tatanan kehidupan masyarakat dapat dipastikan rawan terjadi konflik.
Kondisi Internal merupakan kondisi dalam tatanan kehidupan masyarakat itu
sendiri yang mendukung terwujudnya kehidupan yang manusiawi dengan menerapkan
demokrasi, transparansi dan toleransi secara murni. Jika ketiga tonggak
(demokrasi, transparansi dan toleransi) dapat diciptakan maka tercipta sebuah
tatanan kehidupan masyarakat aman, tenteram dan sejahtera, jika tidak maka akan
terjadi sebaliknya.
Kondisi
eksternal merupakan kondisi tatanan kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor diluar dari masyarakat itu sendiri seperti kebijakan, penegak
hukum, simpatisan, pers (media cetak dan elektronik).
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang
diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia
Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh
Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai
gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi
sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.
Sejarah
Pada 25 April 1950 RMS diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang
diantaranya adalah Chr. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang
kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H.
Manuhutu.Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim
yang diketuai Dr. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi
yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan
pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata.
Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang.Pada 14 Juli 1950
Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS
yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan
laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada
bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda.
Pada 1951
sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah
keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu
diyakini hanya untuk sementara saja.RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di
pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS
di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di
Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di
pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah
mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS
yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang
antipati terhadap Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring
dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur
yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut
soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS tidak menutup kemungkinan Maluku akan
menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan utama
adalah meraih kemerdekaan penuh [2].
Pemimpin
Dukungan
Mayoritas penduduk Maluku pada saat itu beragama Islam dan Kristen
secara berimbang, Namun dengan adanya budaya "Pela Gandong",
dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan segenap
Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam,
maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu. Demikian saat itu RMS.[rujukan?] berbeda dengan sekarang, sudah
banyak pendatang-pendatang baru dari daerah Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara,
Jawa Madura maupun daerah lainnya di Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil
lah masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di
Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku
melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram dan ancaman
bagi perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan setelah
perisitiwa kerusuhan Ambon.
RMS di Belanda
Oleh karena kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh
sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April 1950 di kota Ambon,
ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka Pemerintah
RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan berdirinya
Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah RI, sehingga
semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau
Jawa.Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka
para pimpinan teras RMS tersebut, ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke
Negeri Belanda, kepindahan para pimpinan RMS ini mendapat bantuan sepenuhnya
dari Pemerintah Belanda pada saat itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari
Pemerintah Belanda untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya
sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka sebagian besar rakyat di Maluku yang
beragama kristen, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah ke Negeri
Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih
pindah ke negeri Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan
Sukarno - Hatta, diissukan sebagai "PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS",
lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi para Menteri RMS dan
para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh pengadilan militer
RI, dengan hukuman berat bahkan dieksekusi Mati.Di Belanda, Pemerintah RMS
tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik,
Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan
para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini
membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua
aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap
seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah
bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam
pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung
RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di
tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen pemerintahan RMS
melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda sebagai protes terhadap kebijakan
Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai
teror yang dilakukan para aktifis RMS di Belanda. Ada yang mengatakan serangan
ini disebabkan karena pemerintah Belanda
menarik dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror
ini dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan
sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di lansir
Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS
menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen -
Wassenaar.Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa
kelompok sempalan RMS, seperti kelompok Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang
dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda Maluku
Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta api dan menyandera 38
penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan yang tidak dikenal yang
pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah dan di saat yang sama
juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api.Sejak tahun 80an hingga sekarang
aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.
Dalam kehidupan sosial dikenal hubungan harmoni dan
disharmoni, istilah yang terakhir dikenal dengan sebutan konflik. Konflik bisa
bersifat laten (tersembunyi) dan manifest (nampak), bila sudah mengejawantah
kerapkali menimbulkan korban. Konflik dalam presfektif sosiologi menegaskan
bahwa ketegangan sosial yang berujung pada konflik dapat dibedakan menjadi 2
kategori yaitu konflik yang bersifat fungsional dan konflik yang bersifat
disfungsional bagi hubungan-hubungan dan struktur sosial.
Dalam kasus tersebut penelitian
ini mengambil judul konflikantara umat Islam dengan non pri di Pekalongan tahun
1995, konflik yang bersifat disfungsional, karena sudah menyerang pada
nilai-nilai inti substansi perbedaan sosial yang secara alamiah potensial
menjadi pemicu konflik.Konflik tersebut dipicu adanya penyobekan kitab suci
al-Qur'an yang dilakukan oleh seseorang non pribumi. Sehingga mengakibatkan
cepat berkembangnya isu tersebut, dan banyak bumbu-bumbunya. Perilaku
penyimpangan warga non pribumi menjadi bahan gunjingan warga kota santri, pada
mulanya warga ingin melihat langsung warga non pribumi tersebut, tapi kemudian
setelah masa berkumpul berubah menjadi aksi pengrusakan dan kerusuhan.
Aksi pengrusakan dan kerusuhan
itu terjadi di Pekalongan pada tanggal 24 November 1995, tepatnya di sepanjang
jalan Hayam Wuruk dan telah merambat ke daerah-daerah sekitarnya. Konflik
tersebut terjadi sebagai aksi protes umat Islam terhadap tindakan penyelewengan
yang dilakukan oleh seseorang warga non pribumi yang telah menyobek kitab suci
Umat Islam. Aksi pengrusakan dan kerusuhan itu terjadi tidak hanya di lokasi
kejadian penyobekan al-Qur'an, melainkan telah merambat ketempat-tempat lain.
Banyak toko dan rumah milik pedagang non pribumi di sepanjang jalan Hayam Wuruk
dan sekitarnya hancur berantakan, akibat amukan massa. Aksi tersebut menjalar
menjadi aksi penjarahan, karena banyak warga awam yang ikut di dalamnya.
Bertolak daripokok maslah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan mengungkapkan kenyataan terjadinya konflik, dampak dan faktor-faktor yang
mendorongnya pada tingkat berikutnya menggambarkan perwujudan konflik
sebagaimana dicerminkan dalam kasus di Pekalongan ini. Pada landasan teori, pendekatan
penulisan yang digunakan yaitu pendekatan sosial yang menekankan pada aspek
konflik sosial dalam masyarakat Pekalongan. Jenis penelitian ini penulisan
sejarah lokal, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Dalam mencari
data tentang koflik antara umat muslim dengan warga non pribumi di Pekalongan
tahun 1995 diperoleh dengan beberapa cara diantaranya, studi perpustakaan,
dokumen-dokumen, arsip, observasi dan wawancara dengan menentukan subyek
terlebih dahulu.
Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto,
maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”.
Agenda pembangunan makro yang
direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah
minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa
setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri
yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan
kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik
di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan
“peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam
Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot” oleh perusahaan asing dan segelintir
penghianat bangsa. Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara
penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya
dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun terpendam.
|
0 komentar:
Posting Komentar